Kuliah di Jurusan Sastra Indonesia itu?
Betapa tidak, dikarenakan sejauh yang saya alami, terutama yang saya ingat, banyak yang perlu dipertaruhkan. Meski saya kuliah di kampus negeri, namun momok menakutkan tentang “jurusan Bahasa dan sastra indonesia pilihan masa depan” telah meremehkan kebanggaan terhadap kampus. Bahkan saya terlalu berani untuk tidak memedulikan itu. Saya senantiasa terhadap pendirian dan bertahan sampai sekarang, di ujung semester. Saya kira saya sedikit ragu, namun memang tak rugi.
Saya tidak sungguh-sungguh ingat mengapa saya begitu percaya masuk jurusan Sastra Indonesia. Namun, saya paham satu perihal bahwa saya masuk di jurusan Sastra Indonesia dengan ikhlas, lepas, dan bebas intervensi. Tentu saya telah berkali-kali memperhitungkan konsekuensinya sebelum saat percaya memastikan pilihan.
Jadi, setelah masuk di jurusan Sastra Indonesia, bekal yang saya bawa cuma keyakinan. Bekal yang terlalu tidak cukup untuk menghadapi seluruh mata kuliah, atmosfer kampus, dan dosen yang lebih dari satu besar Profesor serta Doktor. Belum lagi, sekelas dengan teman-teman yang dominan memiliki pengetahuan di atas rata-rata. hadeuh.
Pada awal-awal semester, teman-teman saya yang lain menghilang. Ada yang namanya tetap tercatat di absen, namun wujudnya tak pernah nampak. Ada pula yang cuma ikuti satu semester, setelahnya tidak pernah kelihatan. Akhirnya kami yang awalannya lima puluh lebih, menyisakan kira-kira empat puluhan, bisa saja tiga puluhan. Mereka yang tumbang diketahui beranggapan bahwa keliru masuk jurusan, tidak cocok, dan lainnya pilih nikah lebih dini.
Sebetulnya yang paling membawa dampak saya jengkel kuliah di jurusan ini adalah pertanyaan-pertanyaan berasal dari pihak luar. Saya telah berulang dan bisa saja kebal terhadap pertanyaan yang berbunyi; “Mengapa kuliah jauh-jauh HANYA ngambil jurusan sastra indonesia?” “Kuliah di jurusan sasindo, kedepannya senang menjadi apa?” atau ocehan picik, layaknya “ngapain studi bhs Indonesia, bukannya kami sehari-hari telah menggunakannya?”
Ketika pertama kali mendapat pertanyaan itu, saya memadai berperasaan menanggapinya supaya berakhir di malam-malam penuh renungan. Tetapi setelah melalui berbagai peristiwa sepanjang kuliah, saya mampu lebih biasa dan sedikit dewasa meresponnya. Kadang saya cuma tertawa atau sesekali menjawab seadanya. Sebab kesalahan mereka yang bertanya adalah senantiasa lupa bahwa mereka tengah berhadapan dengan orang yang mempelajari bahasa.
Namun, keyakinan saya yang terhadap awalannya terlalu membara, pernah melemah dan meredup. Saat memasuki semester berikutnya, saya menjadi lebih ragu. Momok yang dulunya tak pernah saya pedulikan, malah kian menggetirkan. Saya sempat berpikir untuk memutar haluan ke jurusan lain yang paham prospek ke depannya. Akan tetapi, tersedia lebih dari satu mata kuliah dan dosen yang membawa dampak saya lupa dengan pikiran cengeng itu.
Karena saya berada di dalam Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia (Nondik/murni) mata kuliah yang diterima pun memiliki taraf yang lebih serius. Tentunya lebih menarik dan membuat ketagihan. Saya mendambakan membeberkan lebih dari satu mata kuliah yang membuat saya jarang tidur malam sampai lupa segala, namun dapat panjang dan sedikit bertele-tele supaya saya rasa tak perlu untuk diceritakan.
Oya, saya kuliah di Universitas Negeri Malang, lingkungan kampusnya rimbun dan tengah di dalam pembangunan gedung. Sudah nyaris lima tahun saya di kampus ini, kala mempelajari kesadaran mental manusia di dalam berbahasa, saya ingat Alm. Pak Widodo, Beliau adalah dosen yang mengajari kami mata kuliah Psikolinguistik dan Pembinaan Bahasa. Bagi saya, Beliau sosok yang paling membawa dampak saya percaya dan percaya bahwa Bahasa Indonesia, bhs yang teman-teman jurusan lain remehkan, memang memiliki kebolehan besar untuk menjadi teristimewa hebat.
“Jika anda mendambakan berhasil di dalam hidup anda, setidak-tidaknya anda perlu berpegang di dalam bidang anda (bahasa dan sastra indonesia) dikarenakan bidang selanjutnya dapat membantu anda,” kata Beliau suatu hari sebelum saat nampak kelas.
Sampai sekarang saya senantiasa sedih kala mengenang kembali pertemuan di ruang kelas kala Beliau bersikeras menceritakan jaman mudanya untuk senantiasa berkelanjutan terhadap Bahasa Indonesia supaya mampu menjadi keliru satu pelopor program BIPA (Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing) di Indonesia. Beliau sebelum saat mengawali dan mengakhiri kuliah melulu menjelaskan nama kami satu-persatu. Kebiasaan selanjutnya membawa dampak kami menjadi dekat dan hangat kala bertemu Beliau, apalagi saya begitu bersemangat masuk ke kelasnya.
Suatu kali di kelas pembinaan bahasa, Beliau berkata, “sayangilah diri anda, jagalah diri anda, jagalah jati diri anda, dikarenakan jati diri anda adalah jati diri bangsa ini.” Setelah itu, Beliau menambahkan, “Pak Wid senang kalian seluruh mampu manfaatkan bhs dengan cermat, dikarenakan itu menunjukan sosok yang terhormat.” Kami mengangguk dan Beliau menutup pertemuan dengan kembali menjelaskan nama kami lagi.
Seusai semester, saya jarang bertemu Beliau sampai di suatu sore yang turun hujan, saya berpapasan dengan Beliau di gedung H8, saya salami tangannya dan kami berbincang sehangat matahari pagi. Beliau menepuk pundak saya dan memberi senyum perpisahan yang sedamai senja melahirkan malam. Tak pernah diduga, ternyata perpisahan kami kala itu adalah untuk selamanya.
Mengapa menjadi bertele-tele begini? Hehe. Anggap saja itu kisah yang semoga inspiratif. Amin.
Di jurusan ini, saya (atau kalian) terlalu mengalami kepekaan berbahasa dan mampu menduga arah/maksud berasal dari lawan berbicara sebelum saat ia mengutarakannya. Entah itu berasal dari pilihan kata maupun gestur tubuhnya. Serius, saya mengalami keadaan itu setelah mempelajari kuliah Pragmatik (penggunaan bahasa). Selain bahasa, kuliah tentang sastra tak kalah menarik.
Melalui sastra saya mampu menembus semesta dengan keindahan kata-kata, merengkuh sensasi melacak harta karun maknanya, melakukan pelarian terhadap puisi-puisi, menyembunyikan/mencari sosok teristimewa di balik kisah prosa fiksi (novel/cerpen), Mengenakan topeng melalui lakon naskah drama, dsb.
Kuliah di jurusan ini terlalu menantang untuk sekadar berhasil dengan menjadi PNS, pemilik modal, borjuis, atau budak-budak pemerintah lainnya. Namun, itu cuman pengakuan subjektif yang tak mampu dipegang. Ketika anda menjalani hari-hari sunyi di pelukan jurusan ini, anda dapat dihadapkan terhadap pilihan untuk pilih sastra atau mendalami bhs (linguistik). Setiap semester yang dilalui dapat menunjukan kesenangan maupun keselarasan anda dengan keliru satu berasal dari dua perihal itu. Tenang saja, anda mampu menentukannya.
Akhirnya, saya perlu akui bahwa saya lebih menyukai sastra, dibanding bahasa. Meskipun di dalam lebih dari satu perihal bhs menjadi begitu menarik, namun darah yang nampak berasal dari tubuh saya telah terlanjur sastra. Pengalaman kuliah di kampus dan jurusan ini adalah perjalanan penuh warna, penuh cerita segala rasa, dan terlalu mbois untuk dilupakan. Saya tetap memiliki banyak cerita tentang Fakultas Sastra, ini tetap cuman kuliah, teman, dan kelas. Selebihnya saya pikir-pikir pernah untuk menceritakannya kembali atau tidak. Pastinya sastra senantiasa mbois. Dah.
setidaknya saya kuliah di jurusan ini atas hasrat dan ketetapan saya sendiri. bukan ikut-ikut teman, paksaan orang tua, atau desakan mulut keluarga dan tetangga. bukankah itu yang lebih penting? soal kesuksesan di jaman depan, percayalah jurusan bukan tuhan yang memastikan garis takdirmu. dan saya sangat percaya itu.