Kenaikan Harga BBM

Sepanjang Indonesia merdeka, hampir tidak tersedia pemerintahan yang tidak menaikan harga BBM. Hanya di jaman Habibi yang singkat itu (1998-1999) kenaikan harga tidak terjadi.

Di jaman Soeharto, kenaikan harga BBM tercatat sebanyak 21 kali. Selama lebih tidak cukup 30 th. kepemimpinannya hingga jatuh pada 1998 tercatat kenaikan harga BBM beratus kali lipat. Pada 1967, di awal th. pemerintahannya tercatat harga premium Rp4/Liter, pada th. 1998 di th. akhir kepemimpinannya melonjak jadi Rp1.000/liter. Harga minyak tanah pada 1967 tercatat Rp1,8/liter, di th. 1998 melonjak jadi Rp 280/liter . Terakhir, Solar Rp3,5/liter pada 1967 melonjak jadi Rp 550/liter di th. 1998.

Kendati harga melonjak ratusan kali lipat, periode 1970-an adalah jaman emas pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagai berkah berasal dari adanya “bonanza” minyak. Boikot negara-negara Arab atas keberpihakan Amerika dan Barat pada Israel memicu harga minyak dunia melonjak tinggi Bajabaru . Pada 1974 naik empat kali lipat berasal dari tiga dollar jadi 12 dolar per-barel. Selanjutnya pada 1979-1980 meningkat kembali dua kali lipat akibat revolusi Iran.

Berkah lonjakan harga minyak dunia berikut memicu Indonesia mampu mendanai pembangunan di berbagai sektor, termasuk sektor pendidikan. Ribuan SD Impres dibangun pada jaman Soeharto ini. Merujuk pada information Bank Dunia, menurut Duflo (2000), di selama th. 1973-1974 hingga 1978-1979 Indonesia udah membangun sebanyak 61.807 unit sekolah SD baru. Tiap sekolah menampung 500 anak-anak.

SD Inpres di jaman Soeharto ini dimaksudkan untuk memperluas kesempatan belajar warga berpenghasilan rendah baik yang tinggal di perdesaan maupun perkotaan. Dampaknya di th. 1988 tercatat Angka Partisipasi Murni (APM) SD mencapai 99,6 persen. Di th. 1990 kuantitas penduduk buta aksara turun hingga 15,8 persen. Lama jaman pendidikan pun berdampak pada peningkatan upah sebesar 3 – 5,4 persen.

BACA JUGA  Ground Thread Die Nuts: Alat Penting untuk Pembuatan dan Perbaikan Ulir

Sedikitnya tersedia enam aspek yang memicu kenaikan harga BBM di jaman Soeharto jadi berkah di bidang pendidikan.

Pertama, naiknya harga minyak mentah dunia sementara itu memicu meningkatknya pendapatan negara karena Indonesia negara pengimport minyak mentah lumayan besar.

Kedua, naiknya harga BBM di pasar domestik memicu subsidi pemerintah mampu dikurangi dan dialihkan ke pambangunan di berbagai bidang.

Ketiga, watak kekuasaan Soeharto yang individual despotistik memicu ia lebih enteng menyesuaikan jalannya roda pemerintahan. Komitmennya untuk menuntaskan perlu belajar 6 th. mampu dijalankan dengan mengalokasikan dana lumayan besar untuk menuntaskan perlu belajar 6 tahun.

Keempat, korupsi sementara itu belum menggurita dan tetap benar-benar terbatas di tingkat pusat.

Terakhir, Kelima, utang luar negeri belum benar-benar besar dan pemerintah mampu membayar.

Di Era Jokowi sementara ini, di th. ke delapan jaman pemerintahannya udah berjalan enam kali kenaikan harga BBM. Pertama kali pada November 2014, sebulan sesudah Jokowi dilantik jadi presiden. BBM biasanya naik sebesar Rp. 2.000. Harga Premium naik berasal dari Rp 6.500,- jadi Rp 8.500,- dan solar naik berasal dari berasal dari Rp 5.500,- jadi Rp 7.500,-.

Kini, September 2022, keliru satu BBM subsidi yang banyak digunakan masyarakat, Pertalite, mengalami kenaikan harga jadi Rp 10.000 per liter. Bahan bakar Diesel dibandrol Rp 6.800 per liter. Pertamax 92 jadi Rp. 15.000/liter. Kebijakan pemerintah menaikan harga BBM ini sedang menuai protes penduduk di berbagai tempat hingga sementara ini.

Pertanyaannya, akankah kenaikan harga BBM di jaman kepemimpinan Jokowi ini bakal mempunyai berkah bagi kemajuan pendidikan Indonesia? Untuk menjawab ini, sedikitnya tersedia lima keadaan di bawah ini yang mampu berikan isyarat tersedia atau tidaknya berkah tersebut.

BACA JUGA  Apa Fungsi Antistatik pada Filter Dust Colelctor

Pertama, kenaikan harga BBM domestik di jaman pemerintahan Jokowi justru berjalan kala harga minyak mentah dunia menurun. Hal itu memicu pendapaan negara berasal dari import minyak mentah menurun. Implikasinya perlu tersedia efisisien atau pemotongan anggaran karena turunnya pendapatan negara.

Kedua, rancangan besar Jokowi untuk memindahkan ibukota negara ke kawasan timur Indonesia memicu fokus pada peningkatan kualitas pendidikan jadi kalah menarik dibanding dengan pembangunan infrastruktur pindahan ibu kota negara.

Ketiga, kepemimpinan Jokowi yang berupa oligarki despotistik memicu sulitnya Presiden mengambil alih ketetapan yang berfihak pada kepentingan rakyat banyak terlebih kala mengganggu kepentingan oligharki ekonomi maupun oligarki politk. Disyahkannya UU Omnibus Law dan hilangnya frasa tunjangan sertifikasi guru dan dosen di dalam RUU Sisdiknas tanpa bukti-bukti penjelasan yang lumayan menunjukan jauhnya keberpihakan pemerintahan sementara ini pada kemajuan bidang pendidikan.

Keempat, dikuranginya subsidi BBM yang berimplikasi pada naiknya harga BBM yang diikuti dengan naiknya harga keperluan pokok masayarakat memicu kekuatan beli masayarakat menurun, termasuk menurunnya kekuatan keluarga membiayai pendidikan.

Kelima, Mengguritanya korupsi yang berjalan hingga di tingkat paling rendah kepemimpinan di jaman otonomi tempat ini jadi mempersulit pemerintahan mampu berjalan dengan baik. Korupsi udah merambah lingkungan pendidikan. Kejadian paling akhir yaitu tertangkapnya keliru satu Rektor PTN adalah bukti parahnya praktek korupsi di Indonesia. Keadaan ini bakal menggerus kepercayaan stakeholderpendidikan pada pengelolaan keuangan pendidikan.